Sudah
satu minggu, di setiap pagi aku jalan mondar mandir dengan perut buncit dan kaki
bengkak sembari memegangi pinggang yang terasa pegal. Ini aku lakukan supaya aku bisa melahirkan
secara normal.
Menginjak
bulan ke 9 masa kehamilan, tiba - tiba dokter memvonis bahwa aku tidak bisa
melahirkan secara normal. Saat pemeriksaan menggunakan USG, terlihat kepala
bayi sudah berada di bawah. Namun bayi tidak kunjung turun ke bawah memasuki
mulut pinggul. Aku bertanya kepada dokter penyebabnya. Namun dokter hanya
menjawab, “kita tunggu besok tanggal 15 coba saya lihat lagi. Semoga ada
pergerakan ke bawah”. Tanggal 15 aku datang memeriksakan kandunganku.
“Bagaimana, Dok?” Tanyaku penasaran. “Posisi bayi sudah bagus, tidak ada
lilitan tali pusar. Ketubannya juga masih jernih dan banyak.” Jawab Dokter.
“Jadi, saya bisa melahirkan dengan normal ya, Dok?” Tanyaku lagi. Dokter
bergeming dan berkata “Tanggal 20 Ke sini lagi ya. Saya lihat lagi. HPL nya
tanggal 22 kan ya?”. Kami pulang dengan gontai. Selama perjalanna pulang aku
dan suamiku terdiam. Jawaban dokter semakin membuat kami penasaran. Kami hanya
ingin tahu penyebabnya apa dan bagaimana solusinya. Tapi kenapa dokter tidak
menjawab dan hanya ingin terus melakukan observasi terhadap perkembangan posisi
janinku.
***
“Piye,
Mbak?” Tanya Mbak Ning tetangga yang menemaniku selama detik – detik masa
melahirkan (Ayah dan Ibuku sedang menunaikan Ibadah haji). “kata dokter
kondisinya semua bagus. Tanggal 20 Disuruh datang lagi untuk kontrol” jawabku
lesu. “O, yo berarti durung wayahe, Mbak.” Jawab Mbak Ning sembari pergi ke
arah dapur melanjutkan masaknya. Suamiku bergegas ke kamar ganti pakaian, minum
segelas air dan kembali menuju depan rumah untuk mengecat pagar. Sudah 4 hari
suamiku di rumah menemaniku menghadapi masa – masa melahirkan. Setiap pagi dia
menemaniku jalan pagi, menginjak jam 9 pagi dia menemaniku senam ibu hamil, jam
10 siang dia mulai mengecat pagar rumah. Tidak ada yang menyuruh. Suamiku
sendiri yang mencari-cari kesibukan. Dia terlihat begitu tenggelam dalam
pengecatannya. Sepertinya ia menumpahkan segala rasa gelisah dalam cat - cat
yang ia puaskan ke pagar rumah.
Tring,
tring, tring. Bunyi pesan wa masuk membuyarkan lamunanku pada suamiku yang
sedang mengecat. Aku buka pesan WA ternyata itu dari Bidan yang membuka kelas
yoga kehamilan. “Minggu esok akan ada senam yoga untuk ibu hamil, Bun. Segera
balas pesan ini jika Bunda tertarik.” Bergegas aku balas pesan WA itu. Aku pun
menceritakan vonis dokter pada bu bidan yang sekaligus instruktur yoga ibu
hamil. Beliau dengan sigap membalas Pesan WA yang aku kirimkan dan memberikan
tips – tips gerakan senam yoga ibu hamil supaya aku bisa melahirkan dengan
normal. Aku bersemangat mempraktikannya.
Hingga
hari minggu tiba, saatnya jadwal senam yoga ibu hamil dan juga saat masa cuti
suamiku habis. Suamiku kembali ke Magelang dan aku pergi ke tempat Bu Bidan
untuk senam yoga ibu hamil. Sebelum senam ibu hamil dimulai, aku diperiksa
terlebih dahulu olehnya. Ditekan tekan perutku. Sesekali Bu bidan menekan
bagian bawah perut. Tidak perlu waktu lama, Bu Bidan berkata kalau tipe
kandunganku ini kandungan menggantung. Ini bisa diatasi dengan gerekan –
gerakan tertentu dan menggunakan sabuk hamil supaya posisi janin bisa maksimal
turun ke bawah. Seketika angin segar berhembus di tengah gurun yang panas dan
gersang.
Tiba
dirumah, aku mengirimkan pesan kepada suamiku terkait penyebab janin tidak
kunjung turun. “Oalah, lha mbok gitu dikasih pencerahan dan pengarahan.” Balas
suamiku kesal. Kali ini tidak hanya setiap pagi aku jalan mondar mandir. Aku
tambah sore dan malam menjelang tidur. “Mbak, Mbak Dela, ojo nemen – nemen oleh
e njengking – njengking, mundak kesel, nanti kalau ngeden ki yo butuh tenaga
lo” Kata Mbak Ning mengingatkan aku. Aku tidak menghiraukannya.
Tanggal
20 tiba, aku memenuhi saran dokter untuk kembali memeriksakan kondisi
kandunganku. “Nah ini kepalanya sudah lumayan masuk mulut pinggul”. Semoga di
tanggal 22 nanti bisa keluar normal janinnya ya. Masyalloh senangnya bukan
kepalang. Aku pulang dan semakin bersemangat mempraktikkan gerakan senam yoga
yang diberikan oleh Bu Bidan. Menjelang tanggal 22, saat itu tepat dengan hari
raya idul adha, aku tetap tidak merasakan tanda – tanda orang akan melahirkan.
Tidak ada rasa sakit sama sekali.
Beberapa
orang datang ke rumah membawa kado. Dikiranya aku sudah melahirkan. Mereka pun
bertanya – Tanya mengapa aku tidak kunjung melahirkan.
Bude
dan Pakde silih berganti datang ke rumah melihat kondisiku yang tidak kunjung
melahirkan. Diantara mereka ada yang membawakan air zam – zam yang telah
didoakan oleh orang alim suapaya janinku mudah keluar. Mertuaku menyarankan
untuk meminum minyak kelapa, atau minyak zaitun. Katanya biar licin jalan
lahirnya. Aku membelinya dan menegaknya.
Mbah Jum tetangga rumah menyarankan aku untuk membaca beberapa surat
Al-Quran secara terus menerus. Mbah putriku mulai resah “Paling sampean senenge
duduk ditengah jalan yo? Opo senengane mandek di tengah jalan yo? Wong lek
nyapu ki yo di rampungke. Ojok mandek tengah dalan.” (Apakah kamu suka berhenti
ditengah jalan, duduk ditengah jalan dan tidak menyelesaikan nyapu rumah) Tutur
Mbah Putri. Aku hanya diam. Rasanya sudah tidak ada tenaga lagi untuk apa – apa
lagi.
Semua
kata orang sudah aku lakukan. Tapi janin
yang aku kandung tidak kunjung menunjukkan tanda – tanda akan keluar.
“Coba ingat – ingat, apa kamu punya nadzar yang belum kamu laksanakan?” Temanku
bertanya. “Aku Cuma bernadzar selama
hamil aku menghatamkan Al-Quran. Sudah kulakukan.” Jawabku.
Aku
tidak tahu harus berusaha seperti apa lagi. Air mataku menetes. Aku menangis sejadi - jadinya. Tiba – tiba
teringat dosa – dosa yang telah lalu. Apa hubungannya? Tentu ada hubungannya.
Segera aku merapal bacaan istighfar sebanyak – banyaknya.
***
Jumat,
31 Agustus 2018.
“Assalamualaikum…”.
Suara salam terdengar dari pintu ruang tengah. “Waalaikumsalam…” Aku jawab
sembari berjalan menuju pintu tengah. “Bude Amin”. Gumamku. Lekas aku cium
tangan kanannya. Seketika hatiku seperti berada di tengah taman hijau, dibawah
pohon besar yang teduh. sosok yang
begitu aku takdzimi karena terdapat
Al-qur’an bersemayam dalam sanubarinya[1].
“Bude,
Dari tadi keluar cairan ada merah – merahnya dan keluarnya tidak bisa ditahan.”
Ceritaku pada bude. “Lho piye, wes ket mau ta?” (sudah dari tadi?) Bude
menanggapi. “Sudah sejak pagi, Bude tapi sedikit – sedikit keluarnya” Jawabku.
“Insyaalloh hari ini kamu lahiran.” Kata bude sembari menatapku dalam. “Wes
ndang siap – siap. Ayok ke rumah sakit sekarang.”Kata Bude. Aku bergegas
mengambil tas lahiran yang sejak lama sudah kusiapkan. Bude duduk di teras
sambil komat – kamit membaca ayat – ayat Al-quran.
Bersama
Bude Amin dan Bude Rin aku berangkat ke rumah sakit. Sesampainya di rumah
sakit, ketuban keluar semakin deras. Namun aku tidak merasakan sakit
sedikitpun. Aku melihat Bude Amin berkomunikasi dengan perawat di meja
resepsionis. Lama sekali. Sesekali Bude Amin berbalik badan melihatku. Aku
pasrah.
“Mbak,
saya sudah menghubungi dokter, Mbak Nisa Adelia nanti malam jam setengah 8
oprasi sesar, Ya. Karena sudah pecah ketuban dan sama sekali belum ada
pembukaan juga tidak ada pergerakan dari janinnya.” Kata perawat yang tiba –
tiba menuju ranjangku. Bude Amin yang sedari tadi ngobrol dengan perawat,
berbalik menuju tempat aku berbaring.
Beliau hanya memandangiku sebentar lalu keluar ruangan.
Jam
19.00 aku dibawa masuk ke ruang anastesi. Kali ini aku tidak hanya dengan Bude
Amin dan Bude Rin. Bulek, Paklik dan sepupuku berdatangan melihat kondisiku.
Ibu, Bapak Mertuaku dan suamiku masih dalam perjalanan menuju Jombang.
Jam
19.15 proses anastesi selesai. Ranjang tidurku mulai didorong oleh perawat
memasuki ruang operasi. “Dil,” Bude Amin tiba – tiba memanggilku. Ranjang
berhenti didorong. Aku menoleh. Bude
Amin menghampiriku, mencium keningku sembari berkata “Sholawat ya Nduk”. Aku
mengangguk.
Aku
memasuki ruang operasi yang sangat dingin. Lengkap dengan segala peralatannya.
Diputarlah lagu – lagu tahun 2000-an oleh perawat. “Mbak, suka musik apa?”
Tanya perawat sambil menyiapkan peralatan bius. Aku bergeleng. Sebenarnya aku ingin
bilang ganti lagunya Nisa Sabyan yang ehmehemehem, emehemmehemheeeem... tapi
mulutku tiba – tiba terkunci melihat perawat menyiapkan peralatan bius.
"Ya Alloh saya memasukkan obat bius ke dalam
tubuh pasien ini semoga obat bekerja dengan baik” kata dokter bius sembari
menusukkan jarum bius kedalam sumsum tulang belakangku. “Ambil nafas, Mbak.
Keluarkaaaan…” Instruksi perawat. Seketika kakiku rasanya seperti kesetrum dan
selanjutnya aku tidak merasakan apa-apa.
Sang
perawat bernyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar sembari melayani dokter
mengambilkan ini itu. Tidak lama, aku mendengar suara tangisan bayi. “Itu
anakku” gumamku. “Alhamdulillaaah” ucap Dokter beserta tim operasinya.
Aku
memberinya nama Ahmad Muhammad. Ahmad adalah nama termasyhurnya Nabi Muhammad
di langit. Sedang Muhammad, adalah nama Nabi di Bumi. Kanjeng Nabi adalah sosok sempurna yang mewakili kebaikan di keduanya. Menggenggam segenap rahmat-rahimNYA dan juga berkahNYA. Semoga nama yang kusematkan ini menjadi perantara kebaikan dan keberkahan untuk kehidupan anakku kelak. Suamiku menyisipkan Azzam yang
berarti tekad. Karena saat aku mengandungnya, kami sedang menguatkan tekad bertahan hidup di
perantauan.
Jadilah engkau “Ahmad Azzam Muhammad”.
Komentar
Posting Komentar