Ahmad Azzam Muhammad





Sudah satu minggu, di setiap pagi aku jalan mondar mandir dengan perut buncit dan kaki bengkak sembari memegangi pinggang yang terasa pegal.  Ini aku lakukan supaya aku bisa melahirkan secara normal. 

Menginjak bulan ke 9 masa kehamilan, tiba - tiba dokter memvonis bahwa aku tidak bisa melahirkan secara normal. Saat pemeriksaan menggunakan USG, terlihat kepala bayi sudah berada di bawah. Namun bayi tidak kunjung turun ke bawah memasuki mulut pinggul. Aku bertanya kepada dokter penyebabnya. Namun dokter hanya menjawab, “kita tunggu besok tanggal 15 coba saya lihat lagi. Semoga ada pergerakan ke bawah”. Tanggal 15 aku datang memeriksakan kandunganku. “Bagaimana, Dok?” Tanyaku penasaran. “Posisi bayi sudah bagus, tidak ada lilitan tali pusar. Ketubannya juga masih jernih dan banyak.” Jawab Dokter. “Jadi, saya bisa melahirkan dengan normal ya, Dok?” Tanyaku lagi. Dokter bergeming dan berkata “Tanggal 20 Ke sini lagi ya. Saya lihat lagi. HPL nya tanggal 22 kan ya?”. Kami pulang dengan gontai. Selama perjalanna pulang aku dan suamiku terdiam. Jawaban dokter semakin membuat kami penasaran. Kami hanya ingin tahu penyebabnya apa dan bagaimana solusinya. Tapi kenapa dokter tidak menjawab dan hanya ingin terus melakukan observasi terhadap perkembangan posisi janinku.
***
“Piye, Mbak?” Tanya Mbak Ning tetangga yang menemaniku selama detik – detik masa melahirkan (Ayah dan Ibuku sedang menunaikan Ibadah haji). “kata dokter kondisinya semua bagus. Tanggal 20 Disuruh datang lagi untuk kontrol” jawabku lesu. “O, yo berarti durung wayahe, Mbak.” Jawab Mbak Ning sembari pergi ke arah dapur melanjutkan masaknya. Suamiku bergegas ke kamar ganti pakaian, minum segelas air dan kembali menuju depan rumah untuk mengecat pagar. Sudah 4 hari suamiku di rumah menemaniku menghadapi masa – masa melahirkan. Setiap pagi dia menemaniku jalan pagi, menginjak jam 9 pagi dia menemaniku senam ibu hamil, jam 10 siang dia mulai mengecat pagar rumah. Tidak ada yang menyuruh. Suamiku sendiri yang mencari-cari kesibukan. Dia terlihat begitu tenggelam dalam pengecatannya. Sepertinya ia menumpahkan segala rasa gelisah dalam cat - cat yang ia puaskan ke pagar rumah. 

Tring, tring, tring. Bunyi pesan wa masuk membuyarkan lamunanku pada suamiku yang sedang mengecat. Aku buka pesan WA ternyata itu dari Bidan yang membuka kelas yoga kehamilan. “Minggu esok akan ada senam yoga untuk ibu hamil, Bun. Segera balas pesan ini jika Bunda tertarik.” Bergegas aku balas pesan WA itu. Aku pun menceritakan vonis dokter pada bu bidan yang sekaligus instruktur yoga ibu hamil. Beliau dengan sigap membalas Pesan WA yang aku kirimkan dan memberikan tips – tips gerakan senam yoga ibu hamil supaya aku bisa melahirkan dengan normal. Aku bersemangat mempraktikannya.  

Hingga hari minggu tiba, saatnya jadwal senam yoga ibu hamil dan juga saat masa cuti suamiku habis. Suamiku kembali ke Magelang dan aku pergi ke tempat Bu Bidan untuk senam yoga ibu hamil. Sebelum senam ibu hamil dimulai, aku diperiksa terlebih dahulu olehnya. Ditekan tekan perutku. Sesekali Bu bidan menekan bagian bawah perut. Tidak perlu waktu lama, Bu Bidan berkata kalau tipe kandunganku ini kandungan menggantung. Ini bisa diatasi dengan gerekan – gerakan tertentu dan menggunakan sabuk hamil supaya posisi janin bisa maksimal turun ke bawah. Seketika angin segar berhembus di tengah gurun yang panas dan gersang. 

Tiba dirumah, aku mengirimkan pesan kepada suamiku terkait penyebab janin tidak kunjung turun. “Oalah, lha mbok gitu dikasih pencerahan dan pengarahan.” Balas suamiku kesal. Kali ini tidak hanya setiap pagi aku jalan mondar mandir. Aku tambah sore dan malam menjelang tidur. “Mbak, Mbak Dela, ojo nemen – nemen oleh e njengking – njengking, mundak kesel, nanti kalau ngeden ki yo butuh tenaga lo” Kata Mbak Ning mengingatkan aku. Aku tidak menghiraukannya.     

Tanggal 20 tiba, aku memenuhi saran dokter untuk kembali memeriksakan kondisi kandunganku. “Nah ini kepalanya sudah lumayan masuk mulut pinggul”. Semoga di tanggal 22 nanti bisa keluar normal janinnya ya. Masyalloh senangnya bukan kepalang. Aku pulang dan semakin bersemangat mempraktikkan gerakan senam yoga yang diberikan oleh Bu Bidan. Menjelang tanggal 22, saat itu tepat dengan hari raya idul adha, aku tetap tidak merasakan tanda – tanda orang akan melahirkan. Tidak ada rasa sakit sama sekali.  

Beberapa orang datang ke rumah membawa kado. Dikiranya aku sudah melahirkan. Mereka pun bertanya – Tanya mengapa aku tidak kunjung melahirkan. 

Bude dan Pakde silih berganti datang ke rumah melihat kondisiku yang tidak kunjung melahirkan. Diantara mereka ada yang membawakan air zam – zam yang telah didoakan oleh orang alim suapaya janinku mudah keluar. Mertuaku menyarankan untuk meminum minyak kelapa, atau minyak zaitun. Katanya biar licin jalan lahirnya. Aku membelinya dan menegaknya.  Mbah Jum tetangga rumah menyarankan aku untuk membaca beberapa surat Al-Quran secara terus menerus. Mbah putriku mulai resah “Paling sampean senenge duduk ditengah jalan yo? Opo senengane mandek di tengah jalan yo? Wong lek nyapu ki yo di rampungke. Ojok mandek tengah dalan.” (Apakah kamu suka berhenti ditengah jalan, duduk ditengah jalan dan tidak menyelesaikan nyapu rumah) Tutur Mbah Putri. Aku hanya diam. Rasanya sudah tidak ada tenaga lagi untuk apa – apa lagi.  

Semua kata orang sudah aku lakukan. Tapi janin  yang aku kandung tidak kunjung menunjukkan tanda – tanda akan keluar. “Coba ingat – ingat, apa kamu punya nadzar yang belum kamu laksanakan?” Temanku bertanya.  “Aku Cuma bernadzar selama hamil aku menghatamkan Al-Quran. Sudah kulakukan.” Jawabku. 

Aku tidak tahu harus berusaha seperti apa lagi. Air mataku menetes.  Aku menangis sejadi - jadinya. Tiba – tiba teringat dosa – dosa yang telah lalu. Apa hubungannya? Tentu ada hubungannya. Segera aku merapal bacaan istighfar sebanyak – banyaknya.
***

Jumat, 31 Agustus 2018.
“Assalamualaikum…”. Suara salam terdengar dari pintu ruang tengah. “Waalaikumsalam…” Aku jawab sembari berjalan menuju pintu tengah. “Bude Amin”. Gumamku. Lekas aku cium tangan kanannya. Seketika hatiku seperti berada di tengah taman hijau, dibawah pohon besar yang teduh.  sosok yang begitu aku takdzimi karena terdapat Al-qur’an bersemayam dalam sanubarinya[1].
“Bude, Dari tadi keluar cairan ada merah – merahnya dan keluarnya tidak bisa ditahan.” Ceritaku pada bude. “Lho piye, wes ket mau ta?” (sudah dari tadi?) Bude menanggapi. “Sudah sejak pagi, Bude tapi sedikit – sedikit keluarnya” Jawabku. “Insyaalloh hari ini kamu lahiran.” Kata bude sembari menatapku dalam. “Wes ndang siap – siap. Ayok ke rumah sakit sekarang.”Kata Bude. Aku bergegas mengambil tas lahiran yang sejak lama sudah kusiapkan. Bude duduk di teras sambil komat – kamit membaca ayat – ayat Al-quran. 

Bersama Bude Amin dan Bude Rin aku berangkat ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, ketuban keluar semakin deras. Namun aku tidak merasakan sakit sedikitpun. Aku melihat Bude Amin berkomunikasi dengan perawat di meja resepsionis. Lama sekali. Sesekali Bude Amin berbalik badan melihatku. Aku pasrah. 

“Mbak, saya sudah menghubungi dokter, Mbak Nisa Adelia nanti malam jam setengah 8 oprasi sesar, Ya. Karena sudah pecah ketuban dan sama sekali belum ada pembukaan juga tidak ada pergerakan dari janinnya.” Kata perawat yang tiba – tiba menuju ranjangku. Bude Amin yang sedari tadi ngobrol dengan perawat, berbalik  menuju tempat aku berbaring. Beliau hanya memandangiku sebentar lalu keluar ruangan.

Jam 19.00 aku dibawa masuk ke ruang anastesi. Kali ini aku tidak hanya dengan Bude Amin dan Bude Rin. Bulek, Paklik dan sepupuku berdatangan melihat kondisiku. Ibu, Bapak Mertuaku dan suamiku masih dalam perjalanan menuju Jombang. 

Jam 19.15 proses anastesi selesai. Ranjang tidurku mulai didorong oleh perawat memasuki ruang operasi. “Dil,” Bude Amin tiba – tiba memanggilku. Ranjang berhenti didorong.  Aku menoleh. Bude Amin menghampiriku, mencium keningku sembari berkata “Sholawat ya Nduk”. Aku mengangguk.
Aku memasuki ruang operasi yang sangat dingin. Lengkap dengan segala peralatannya. Diputarlah lagu – lagu tahun 2000-an oleh perawat. “Mbak, suka musik apa?” Tanya perawat sambil menyiapkan peralatan bius. Aku bergeleng. Sebenarnya aku ingin bilang ganti lagunya Nisa Sabyan yang ehmehemehem, emehemmehemheeeem... tapi mulutku tiba – tiba terkunci melihat perawat menyiapkan peralatan bius. 

 "Ya Alloh saya memasukkan obat bius ke dalam tubuh pasien ini semoga obat bekerja dengan baik” kata dokter bius sembari menusukkan jarum bius kedalam sumsum tulang belakangku. “Ambil nafas, Mbak. Keluarkaaaan…” Instruksi perawat. Seketika kakiku rasanya seperti kesetrum dan selanjutnya aku tidak merasakan apa-apa.

Sang perawat bernyanyi mengikuti lagu yang sedang diputar sembari melayani dokter mengambilkan ini itu. Tidak lama, aku mendengar suara tangisan bayi. “Itu anakku” gumamku. “Alhamdulillaaah” ucap Dokter beserta tim operasinya. 

Aku memberinya nama Ahmad Muhammad. Ahmad adalah nama termasyhurnya Nabi Muhammad di langit. Sedang Muhammad, adalah nama Nabi di Bumi. Kanjeng Nabi adalah sosok sempurna yang mewakili kebaikan di keduanya. Menggenggam segenap rahmat-rahimNYA dan juga berkahNYA. Semoga nama yang kusematkan ini menjadi perantara kebaikan dan keberkahan untuk kehidupan anakku kelak. Suamiku menyisipkan Azzam yang berarti tekad. Karena saat aku mengandungnya, kami sedang menguatkan tekad bertahan hidup di perantauan. 

Jadilah engkau “Ahmad Azzam Muhammad”.


[1] Penghafal Al – Quran

Komentar