Peran Literasi Digital dalam Mengembangkan Potensi Lokal

 

 


 Peran Literasi Digital dalam Mengembangkan Potensi Lokal

Nisa Adelia

 Sekitar pertengahan tahun 2016 saya mendapat panggilan kerja di Perpustakaan Hukum Bagian Hukum Setda Kab. Magelang. Segera saya memenuhi panggilan tersebut  dan menetap di Mungkid Kab. Magelang. Kecamatan Mungkid merupakan Ibu Kota Kab. Magelang yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Borobudur. Kami tinggal di perbatasan antar dua kecamatan tersebut. Jarak ke Kecamatan Borobudur yang lebih dekat, membuat kami lebih sering beraktifitas di daerah Kecamatan Borobudur. Salah satu aktifitas yang sering kami lakukan adalah  jalan – jalan di sekitar pasar Borobudur untuk melepas penat setelah seharian mengerjakan pekerjaan yang padat. Jika akhir pekan tiba kami menyempatkan bersepeda pagi ke desa Borobudur untuk menikmati pemandangan sawah hijau yang memanjakan mata, segarnya udara pagi dan romantisnya penduduk desa beraktifitas mengolah sawah dan kerajinan.

Suatu malam, selepas maghrib saya mendapat pesan dari salah satu kawan yang jarak rumahnya sekitar 5 km dari Candi Borobudur. Setelah menyelesaikan solat maghrib, saya dan suami berangkat mengikuti map yang sudah dibagikan olehnya melalui whatsapp. Bagi kami memutuskan perjalanan selepas maghrib adalah waktu yang belum terlalu malam. Namun sepanjang jalan desa yang kami lewati sangat sepi dan gelap.  Semakin jauh kami berkendara mengikuti maps tersebut, jalan semakin sepi, berkelok dan menanjak. Rumah warga semakin jarang kami temui, jalan menyempit dan diapit kebun bambu yang rimbun. Di titik 100 m dr lokasi mulailah terlihat cahaya lampu dari salah satu rumah warga. Semakin dekat cahaya itu paling terang diantara rumah warga yang lain. Alhamdulillah ternyata rumah paling terang itulah rumah kawan kami.

Kami disambut Mbak Endah dan Pak Kodim (Tuan Rumah) di gazebo sebelah rumahnya. Wedang teh dan gorengan disuguhkan. Di Gazebo tersebut terdapat besek – besek hasil kerajinan Pak Kodim dan warga sekitar yang akan dijual.

 “Alhamdulillah, Mba, Mas, warga sini sedikit, sedikit mau gerak bareng – bareng bikin besek. Lumayan bisa buat tambahan bayar SPP Sekolah.” Kata Mba Endah, Istri Pak Kodim sembari menyuguhkan cemilan toplesan.

“Sebelumnya, ngeri, Mba, 3 tahun lalu (2013) dusun Kami masuk garis merah kemisikinan” Lanjut Mba Endah.

Sontak kami kaget. Bagaimana bisa desa yang berjarak hanya 5 km dari kantor kecamatan dan  Candi Borobudur masuk dalam garis merah kemiskinan. Sedangkan Candi Borobudur itu mendapat kunjungan wisatawan hampir belasan ribu perharinya. Artinya ada potensi market yang besar di sekitar Candi Borobudur. Seketika romantisme desa yang kami saksikan itu runtuh.

Kemiskinan seolah menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai dari era ke era. Hingga memasuki era digital dan informasi seperti saat ini masih banyak desa-desa yang terbelakang dan berada di garis merah kemiskinan (Scoones, 2021). Indonesia sendiri  pada tahun 2015 memiliki penduduk miskin mencapai 10,96 persen (27,73 juta jiwa) dengan prosentase sekitar 62,65 persen penduduk miskin ada di desa. Kemudian di tahun 2021 presentase penduduk miskin adalah 9,71. Artinya ada penurunan sekitar 1.25 persen dari tahun 2015. Meskipun mengalami penurunan, presentase kemiskinan tahun 2021 sebesar 9.71 itu merupakan angka kemiskinan yang masih sangat perlu untuk diturunkan.

Jika menilik penyebab kemiskinan memang sangat komplek. Penanda yang paling mudah terlihat adalah tidak tersedianya profil desa (jumlah penduduk, warga desa yang miskin dsb), kondisi infrastruktur yang tidak memadai, aparatur desa yang tidak kompeten, kantor desa yang tidak berfungsi bahkan ada yang tidak punya hingga abai terhadap potensi atau aset desa yang dimiliki. Hal ini masih ditambah dengan menjamurnya pasar ritel di pelosok desa yang tentu saja mematikan pasar desa maupun warung kelontong yang ada di desa(Marwan Ja’far dalam Zamroni ,2015). Abai terhadap potensi lokal ini memiliki indikasi bahwa masyarakat abai karena tidak tahu bahwa kelokalan yang mereka miliki merupakan sebuah potensi yang dapat dikembangkan.  

Ketidaktahuan atau bahkan ketidaksadaran warga desa terhadap potensi lokalnya  bisa jadi karena terbatasnya pengetahuan, wawasan dan pengalaman. Padahal di era yang serba terbuka seperti saat ini, informasi dan pengetahuan sangat mudah didapatkan melalui gawai. Dimana saat ini gawai sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa. Artinya masyarakat desa memiliki akses yang sama untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Namun ternyata kesamaan akses saja tidak cukup untuk menjadikan informasi dan pengetahuan yang tersedia di jagat maya berdampak pada kehidupan masyarakat desa. Dibutuhkan keterampilan dalam berselancar dan menggunakan informasi di dunia maya. Keterampilan tersebut lazim disebut literasi digital.

Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat – alat komunikasi atau jaringan dalam menemukan mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari -hari (Tim, 2017). literasi itu sendiri, adalah kegiatan yang menjadikan masyarakat Indonesia peka dan mampu menganalisa lingkungan sekitar, mampu melahirkan individu-individu yang sarat karya atas informasi yang diterimanya, yang tak putus mengungkapkan gagasan – gagasan guna menumbuhkan budaya kompetensi dan iklim intelektualitas di Indonesia. Bukan semata memproduksi masyarakat yang gandrung membaca kemudian semata “pengikut” dengan keterbatasan analisa, ketidakmampuan berargumen apalagi menghasilkan karya yang memiliki ciri khas(Primadesi,2018). Artinya literasi digital tidak serta merta tentang kemampuan penggunaan piranti digital namun juga kemampuan menganalisis, menangkap peluang serta mampu mengembangkan potensi diri yang memiliki ciri khas.

Konsep literasi digital tidak dapat dilepaskan dari kegiatan literasi seperti membaca, menulis, berhitung dan kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan(Tim,2017) karena literasi digital merupakan kecakapan hidup (Life Skill) yang tidak hanya tentang mampu menggunakan teknologi informasi namun juga kecakapan bersosialisasi, berkomunikasi, menganalisis, berpikir kritis, mampu menyampaikan gagasan (Tim,2017) dan bisa sampai menghasilkan karya yang memiliki ciri khas. Maka untuk membangun budaya literasi digital itu, dibutuhkan akses membaca dan ruang atau institusi sosial yang mampu menumbuhkan budaya literasi. Dengan begitu pengetahuan masyarakat sedikit demi sedikit akan terbangun. Karena sangat mustahil bahwa apa yang seseorang ketahui tentang sesuatu itu terlepas sama sekali dari aspek sosial dan budaya dimana sesorang berkehidupan(Pendit,2018). Sehingga adanya akses membaca dan ruang atau institusi sosial tidak dapat diremehkan atau diabaikan dalam membangun pengetahuan masyarakat. Jika pengetahuan masyarakat terbangun maka  “produksi pengetahuan” masyarakat desa menjadi sebuah keniscayaan. Produksi pengetahuan masyarakat desa inilah yang nantinya mampu membawa ke kemandirian desa dalam penghidupan berkelanjutan.

Sebagaimana yang telah dilakukan oleh kawan kami, Mbak Endah dan Pak Kodim.  Dengan memanfaatkan akses yang ada di gawainya untuk mereformulasi besek sebagai potensi lokal yang ada di desanya  menjadi produk yang memiliki nilai jual tinggi. Besek dipilih karena bambu yang merupakan bahan baku besek banyak sekali tumbuh liar di sepanjang dusun mereka tinggal. Selain itu juga, warga sekitar banyak yang memiliki keterampilan membuat besek. Sehingga dengan mereformulasi besek, maka selain untuk memanfaatkan potensi lokal, juga akan membawa manfaat untuk warga pengrajin besek lainnya.  Reformulasi besek ini dinilai cukup berhasil. Hal tersebut terbukti dari penjualan offline  dan online besek yang awalnya hanya terbatas di Kecamatan Borobudur mulai berkembang hingga antar pulau bahkan pernah laku hingga luar negeri. Lagi – lagi karena memanfaatkan teknologi informasi grafik penjualan juga terus mengalami peningkatan.

Dari praktik baik yang dilakukan Mbak Endah dan Pak Kodim tersebut, terlihat bagaimana peran literasi digital dalam mereformulasi besek dan strategi penjualan online yang membuat besek terjual hingga keluar pulau bahkan luar negeri. Hari ini praktik baik yang dilakukan Mbak Endah dan Pak Kodim masih terus berlanjut hingga sekitar 26 warga sekitar bergabung bersama untuk membuat besek dan kemudian hasil jual besek sebagaian dikelola untuk dana pendidikan anak – anak mereka. Praktik baik Mbak Endah dan Pak kodim inilah salah satu bentuk dari “produksi pengetahuan” masyarakat desa. Jika sudah demikian maka tinggal bagaimana pemangku kebijakan memasukkan produksi pengetahuan masyarakat desa kedalam kebijaknnya. Akankah? 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Pendit, Putu Laksman.2018.Pustaka dan Kebangsaan.Jakarta : ISIPII

Primadesi, Yona.2018.Dongeng Panjang Literasi Indonesia.Padang:Kabarita

Scoones, Ian.2022.Penghidupan Berkelanjutan dan Pembangunan Pedesaan.Yogyakarta:InsistPress

Tim.2017. Materi Pendukung Literasi Digital. Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Tim.2022.BPS 2021.Jakarta : BPS dapat diakses di link dibawah ini https://www.bps.go.id/publication/2021/02/26/938316574c78772f27e9b477/statistik-indonesia-2021.html

Zamroni, Sonaji.2015.Desa dan Penghidupan Berkelanjutan.Yogyakarta:IREYogyakarta

 

 

 

 

 

           

Komentar