“Sementara kita pulang ke
Magelang ya, Dek.” Aku bergeming sembari mengencancangkan pelukanku pada laki -
laki yang baru saja kemaren sah menjadi suamiku.
“Tenang, Dek”. Dia merasakan keresahan hatiku. “Bagiku, se-asing apa kota itu, se-buta apa aku akan tempat itu, yang penting bersamamu. Karena engkaulah penunjuk dan penerang hidupku.” Gombalan aku luncurkan padanya. “Iya aku akan jadi Google Map dan Lampu Philips untukmu.” Grrrrrrr.
Deru motor Mio tahun 2009-an yang kami tumpangi melaju semakin kencang di jalan Magelang – Yogya menuju Kota Mungkid tempat kami tinggal di Kabupaten Magelang. Magelang daerah yang asing bagiku. Juga bagi suamiku. Namun baginya itu bukan masalah besar. Ritme kerjanya yang dulu membuat dia terbiasa cepat beradaptasi di lingkungan yang baru.
“Tenang, Dek”. Dia merasakan keresahan hatiku. “Bagiku, se-asing apa kota itu, se-buta apa aku akan tempat itu, yang penting bersamamu. Karena engkaulah penunjuk dan penerang hidupku.” Gombalan aku luncurkan padanya. “Iya aku akan jadi Google Map dan Lampu Philips untukmu.” Grrrrrrr.
Deru motor Mio tahun 2009-an yang kami tumpangi melaju semakin kencang di jalan Magelang – Yogya menuju Kota Mungkid tempat kami tinggal di Kabupaten Magelang. Magelang daerah yang asing bagiku. Juga bagi suamiku. Namun baginya itu bukan masalah besar. Ritme kerjanya yang dulu membuat dia terbiasa cepat beradaptasi di lingkungan yang baru.
Pemandangan gedung Kota Yogyakarta sedikit demi sedikit berganti
hamparan sawah hijau. Warung dan toko modern pinggir jalan berganti pajangan hasil karya pahatan batu. Semakin
jauh, pajangan didominasi hasil kerajinan sapu. Konon katanya Magelang juga
terkenal akan kemasyhuran Pabrik tahu. “Tahune Magelang kui enak, Nduk.” Tutur ibu mertuaku.
Gerbang selamat datang Kawasan Wisata Borobudur sudah Kami
lewati. “Sebentar lagi kita
sampai, Dek”. Aku mengangguk. Diujung mata memandang,
terpampang Bukit Menoreh yang memanjang dari Yogya hingga Purworejo. Teringat Mbah
Kakung yang suka dengan cerita Api di Bukit Menoreh. Sekarang cerita itu
menjadi semacam CerBung (Cerita Bersambung) di Kolom Koran Suara Rakyat. Jika
Koran Suara Rakyat beredar hingga Jawa Timur, pasti Mbah Kakungku rutin
membelinya.
**
"Di bawah sudah tidak ada barang lagi kah, Dek?", tanya suamiku dari lantai 2
kosan kami. "Tinggal 1 sekalian aku bawa ke atas", jawabku. Kami menyewa kamar kos
di ruko Buk Ti. Lokasinya di pinggir jalan utama Kota Mungkid, Ibu Kota
Kab Magelang. Lantai satu berbentuk toko yang disewa ibu penjual ayam bakar.
Sedang lantai 2 terdapat 2 kamar yang disewakan. Kami sewa 1 kamar saja di lantai 2. Sedangkan 1 lagi
kamar masih kosong belum ada penyewa. 1 kamar yang kami sewa berukuran 4 x 3 meter dengan fasilitas
dapur dan kamar mandi luar dibandrol cukup murah. Cocok untuk manten anyar.
Setiap pagi kami sibuk bekerja. Aku pulang jam 2 siang. Sedang suamiku pulang jam 4 sore. Jarak kosan
dengan tempat kerjaku sekitar 100 meter. Sedang jarak tempat kerja suamiku dari
kosan kami tinggal sekitar 15 Km. Hari – hari Kami lalui bersama. Pagi bekerja,
siang pulang mengerjakan pekerjaan domestik rumahan. Sore menyambut suami
datang. Malam asik bercerita. Rasanya
selalu ada bahan untuk saling bercerita dengan sang suami. Namun tak jarang
juga, saking panjangnya cerita, suamiku tertidur. Ceritaku bagai dongeng
pengantar tidurnya. Melihatnya lelah menempuh perjalanan jauh dari kantor ke
rumah rasanya tak tega memintanya untuk terus menyimak cerita.
**
Tinggal di Kota Mungkid cukup nyaman. Saat pagi tiba, ramai dengan para pekerja ASN di
Kantor Pemerintah. Sedang masyarakat sekitar giat berangkat ke sawah. Menjelang sore hingga malam, Kota Mungkid
sepi. Seringkali aku mendengar warga sekitar menyebutnya ini kota mati.
Hanya suara suara
jangkrik yang mendominasi malam
hari. Hampir tidak ada suara klakson mobil yang
bersautan. Tidak ada riuhnya peluit penyebrang jalan, juga tidak ada suara orang
yang sekedar cangkruk-an.
Sepi. Jauh dari pusat keramaian. Satu ketika aku dan suamiku mulai
bosan dengan ritme kehidupan. Mulailah dia cari - cari kesibukan. Apa - apa
yang di kardus - dibongkar, katanya mau
dirapikan. Aku menemukan satu kardus berisi buku – buku bacaan. Satu buku menarik minatku untuk membacanya di
sabtu malam itu. Buku Pidi Baiq berjudul Drunken Mama. Satu demi satu judul ku
lewati, cerita humornya bagus. Gak kerasa habis seketika. Hari berikutnya, aku
buka lagi kardus buku itu. Aku temukan buku Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda.
Aku kira buku ini bakal membosankan. Ternyata sangat mengasikkan. Gaya
tulisannya seperti didongengi langsung oleh penulis. Buku setebal 5 cm itu
kubaca dalam tiga hari. Hari berikutnya, saat aku bekerja, aku menemukan judul
buku Bintang di atas Al-Hambra. Lalu kupinjam buku ini pada teman yang
kebetulan mengoleksinya. Di malam yang hening di atas balkon belakang kosan,
dengan pemandangan hamparan sawah yang diterangi sang rembulan, aku dibawanya
ke Australia, Leiden, dan Al-Hambra.
Kebiasaan membaca itu terbawa hingga masa
kehamilan tiba. “Coba ditulis cerita – cerita
adek soal
buku – buku itu. Biar terdokumentasikan apa - apa yang jadi pemikiran
adek.”, celetuk suamiku saat aku bercerita soal buku – buku yang baru saja selesai kubaca. Lalu aku benar-benar mulai menuliskannya. Aku tunjukkan tulisan pertamaku pada
suamiku, dia tersenyum. Lama – lama aku menulis apa saja yang aku rasakan
dan pikirkan. Seringkali isi tulisanku itu cuma cerita kedongkolan hati dan
protes – protes gak jelas. Satu hari aku membuka tulisan – tulisanku itu, lucu,
geli sendiri. Geli karena banyak tulisan yang tidak nyambung, banyak tulisan yang tidak fokus, banyak tulisan yang tidak ada inti pikirannya. Tulisan ini cerminan
diriku. Karena aku tulis apa adanya saat itu. Sehingga tulisan – tulisan
ini sekan berbicara padaku tentang diriku, cara berfikirku dan tentu itu semua mempengaruhi kehidupanku.
Jauh dari hingar bingar keramaian, aku temukan teman terbaik, yaitu Buku. Jika teman terbaik itu adalah Buku, maka menulis adalah ladang terbaik untuk mencurahkan ilmu.
#rumbelliterasiIPYogya
#tantanganmenulis
#tantanganfebruari
#aksarabercerita
Jauh dari hingar bingar keramaian, aku temukan teman terbaik, yaitu Buku. Jika teman terbaik itu adalah Buku, maka menulis adalah ladang terbaik untuk mencurahkan ilmu.
#rumbelliterasiIPYogya
#tantanganmenulis
#tantanganfebruari
#aksarabercerita
Apakah benar Magelang itu kependekan dari “Di emek-emek pegele ilang”?
BalasHapus1.5 Tahun aku tinggal di Magelang, Aku belum berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan tsb. Namun, menurut orang tua di sini, Magelang itu dulu konon katanya adalah tempat istirahat bagi mereka yang sedang melakukan "perjalanan" jauh. Mungkin ada sedikit hubungannya :)
HapusAku baper, wkwkwk dan closing yang bagus mb benar ah teman terbaik itu memang buku, membawa kita pergi tanpa perlu berjalan. Setia dia tidak akan pergi Kecuali kita lalu bawa si wkwkwkw
BalasHapusSaat itu, Aku baru benar - benar jatuh cinta pada buku dan menulis. Sebelumnya, membaca hanya ritual kuliah semata. Menulis hanya ritual tugas saja.
HapusBener kata mbk izzah ya, jadi baper aku tuh
BalasHapusSuka sama gaya tulisannya mbk nisa, rasanya siska bisa bayangin kota mungkid yg jadi tempat tinggal mbk nisa
Sepi, sepi bingit, Sis.
Hapus